GIVE Volunteer , dr. Faisal sedang membaca Quran doi Masjid Al Serkal

Januari 2020 menjadi bulan yang istimewa bagiku. Betapa tidak, di awal bulan aku bisa menyaksikan kebahagiaan di raut wajah orang tuaku karena berhasil diwisuda sebagai hafiz dan selanjutnya di pertengahan bulan sebagai dokter. Lantas, apa yang akan aku lakukan setelah menjadi seorang dokter? Untungnya pertanyaan ini bisa segera terjawab karena aku mendapatkan kesempatan berharga di akhir bulan Januari 2020 untuk bisa berkontribusi bersama GIVE (Global Islamic Volunteering Expedition) Society dalam menjalan misi kemanusiaan di Negeri Angkor Wat, Kamboja.

Januari 2020 menjadi bulan yang istimewa bagiku. Betapa tidak, di awal bulan aku bisa menyaksikan kebahagiaan di raut wajah orang tuaku karena berhasil diwisuda sebagai hafiz dan selanjutnya di pertengahan bulan sebagai dokter. Lantas, apa yang akan aku lakukan setelah menjadi seorang dokter? Untungnya pertanyaan ini bisa segera terjawab karena aku mendapatkan kesempatan berharga di akhir bulan Januari 2020 untuk bisa berkontribusi bersama GIVE (Global Islamic Volunteering Expedition) Society dalam menjalan misi kemanusiaan di Negeri Angkor Wat, Kamboja.

Luar biasa skenario Allah untuk menjadikan hamba-Nya sebagai pelayan kesehatan yang dapat mengabdi bagi warga muslim di pelosok-pelosok desa Kamboja. Atas izin-Nya, aku terpilih sebagai salah satu delegasi fully-funded yang terseleksi dari ribuan pendaftar program ini. Bersama 18 orang hebat lainnya, pada tanggal 26 Januari 2020 akhirnya aku berangkat menyusuri seluk-beluk lika-liku kehidupan warga muslim Kamboja.

Sebagai seorang dokter yang baru saja disumpah, aku diamanahi oleh panitia GIVE Society untuk memegang projek kesehatan selama kegiatan berlangsung. Kesempatan ini merupakan pertama kalinya GIVE Society mengadakan program kerja berbau medis. Kami berencana mengadakan pelayanan pemeriksaan kesehatan gratis di tiga desa muslim Kamboja. Kedengarannya program pelayanan kesehatan gratis ini sudah lumrah dan acap kali dilakukan di Indonesia, namun tidak di ketiga desa ini. Hal lain yang menjadi tantangan adalah barier bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi sangatlah berbeda. Meski di Indonesia memiliki ribuan bahasa dengan berbagai suku yang ada, hampir setiap warga Indonesia—di pulau terpencil sekali pun, masih mampu berkomunikasi menggunakan bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Untuk kali ini, kami yang hanya mengandalkan kosakata bahasa Khamer dan penerjemah yang telah disediakan panitia GIVE. Faktanya di lapangan,  ternyata masyarakat tidak fasih berbahasa Khamer lebih banyak menggunakan bahasa Cham bahasa bangsa mereka sendiri sehingga bekal kosakata bahasa Khamer yang kami punya jarang terpakai.

Sebelum bercerita lebih lanjut terkait bahasa anamnesis dengan pasien, ada hal menarik lain yang akan aku ceritakan saat persiapan keberangkatan. Amunisi utama seorang dokter selain bahasa tentunya adalah obat-obatan. Ini baru pertama kalinya aku akan memberikan pelayanan kesehatan di negeri orang. Bukan hanya satu strip saja obat yang aku bawa, namun ada ratusan tablet obat dengan berbagai jenis obat yang akan aku “selundupkan” di bandara luar negeri. Aku sudah sangat khawatir akan dideportasi di negeri orang karena dicurigai membawa obat-obatan terlarang. Hal yang lebih membuatku tidak bisa tidur dengan nyenyak sebelum keberangkatan adalah sebuah berita yang kubaca bahwa Indonesia pernah mendeportasi tenaga medis berkewarganegaraan Amerika Serikat yang akan memberikan pelayanan kesehatan saat terjadi bencana di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Akhirnya, aku bersama Desy, koordinator GIVE Society, mencari ide agar misi pelayanan kesehatan ini bisa berhasil. Aku buat obat-obatan itu berkelompok sesuai dengan resep untuk pasien yang sering aku periksa. Ada kelompok obat-obatan batuk, pilek, demam, sakit perut, dan lain sebagainya. Kami bungkus dengan rapi di satu plastik dan kami jadikan sesuai dengan personel GIVE yang berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Kami melakukan hal ini agar tidak timbul kecurigaan dengan asumsi obat-obatan yang kami bawa merupakan obat-obatan pribadi. Sisanya, kami bungkus dengan rapat untuk dimasukkan ke bagasi pesawat. Kami sudah memperhitungkan semuanya dengan matang. Jika memang ada yang tersita, setidaknya tidak semua obat yang terambil.

Saat melintasi bagian imigrasi aku selalu berdoa agar semuanya berjalan sesuai dengan rencana. Kami berhasil lolos di pemeriksaan imigrasi Jakarta. Begitu pula saat melewati pemeriksaan imigrasi di Kuala Lumpur tempat kami transit. Terakhir, di imigrasi Kamboja, tidak dihadang dan dipertanyakan sama sekali. Alhamdulillah, syukur kuucapkan karena aku bisa menjalankan misi kesehatan di negeri yang warga muslimnya merupakan minoritas. Tanggal 27 dan 28 Januari 2020 kami masih menyusuri wisata-wisata sejarah Kamboja, kemudian di tanggal 29 Januari 2020 mulai menjalankan tujuan utama kami.

Kampung Apung Anglung Chen

dr. Faisal dan GIVE Volunteer divisi kesehatan melakukan pemeriksaan kesehatan

Desa pertama yang kami kunjungi adalah desa apung Anlung Chen. Untuk mencapai desa ini, kami menggunakan bus menempuh dua jam perjalan dari kota Phnom Penh. Awalnya aku mengira saat bus berhenti untuk menurunkan penumpang, di situlah lokasi bakti sosialnya. Ternyata tidak. Aku bersama teman-teman yang lainya masih harus berjalan memasuki perkampungan dan di sana kami melihat sebuah jurang yang curam. Ternyata desanya ada di seberang sungai. Dipandu oleh warga lokal, dengan hati-hati kami mencoba menyusuri dataran curam untuk menjangkau pinggir sungai. Kamudian, menggunakan perahu apung kami menyeberangi sungai Basak untuk mencapai Desa Anlung Chen. Baru kali ini hayalanku terwujud untuk bisa menjadi seorang dokter di pedalaman yang harus menjemput pasien menggunakan perahu apung.

Anlung Chen bagiku bukanlah sebuah desa, namun sekelompok lokasi pemukiman dengan perahu-perahu yang berjejer sebagai tempat pemukiman warga muslim Kamboja. Di kampung apung ini terdapat 55 kepala keluarga. GIVE Society sendiri memiliki projek untuk membangun musala apung di kampung ini. Saat perahu kami mulai menepi, para warga sudah berjejer menyambut kedatangan kami. Senyuman hangat menyapa pagi kami kala itu. Setelah bersalaman dengan warga, kami langsung menunaikan salat zuhur dan asar berjamaah di bawah naungan terpal yang telah disediakan. Kami berwudu dengan menggunakan air sungai.

Aku dan beberapa tim kesehatan lainnya tidak beranjak dari tempat yang semula digunakan untuk sholat. Dibantu oleh adik tingkatku, Indira, ia mulai memeriksa tekanan darah pasien yang telah mengantri. Persiapan kami saat itu sangatlah kurang; kami lupa membawa kertas, spidol, dan gunting yang diperlukan dalam pemeriksaan kesehatan ini. Kertas yang akan digunakan untuk mendaftar akhirnya diambil dari sobekan buku catatan kecil milik Kak Niken, sedangkan spidol dan gunting kami meminjam dari warga lokal yang nantinya akan digunakan untuk memotong obat dan menandainya dengan spidol—terkait dengan petunjuk aturan minum obat. Persiapan yang kurang ini cukup membuatku gelisah di awal kegiatan. Di saat yang sama, pasien pun semakin menumpuk sedangkan sistem alur pemeriksaan yang kami laksanakan masih belum beres.

Akhirnya kami meminta bantuan Azrina untuk segera mendata ibu-ibu yang sudah mengantre. Dibekali bahasa percakapan dasar ia mencatat nama dan usia pasien. Pasien yang sudah ditensi (red: diukur tekanan darahnya) langsung aku terima untuk dianamnesis, kemudian aku periksa, dan diberi selanjutnya diberikan terapi. Awalnya aku sudah belajar kosakata dasar bahasa Khamer karena Pak Maher, penerjemah sekaligus pendamping kami, berkata bahwa orang Cham—bangsa kebanyakan penduduk muslim Kamboja, pasti bisa berbahasa Khamer. Sayangnya, tidak begitu keadaannya. “Cheu aeke?”, tanyaku mengenai sakit yang dirasakan pasien menggunakan bahasa Khamer. Harapanku pasien mengerti dan menyebutkan keluhannya yang sudah kuhafal sebelumnya, seperti: pusing, batuk, pilek, dan lain sebagainya. Raut wajah pasien malah tampak kebingungan dengan cara pengucapanku yang mungkin kurang tepat. Untung saja pak Maher segera menanggapi dan mencoba menerjemahkan kepadaku.

Satu pasien sudah membuatku pening karena kendala bahasa. Aku coba berkali-kali mengucapkan dengan pronunciation yang lebih baik namun kebanyakan warga muslim disini lebih paham menggunakan bahasa Cham. Aku belum ada persiapan sama sekali belajar bahasa Cham. Sembari Pak Maher menjelaskan kepada pasien edukasi kesehatan yang aku berikan, aku mencatat kosakata dasar bahasa Cham di sampul buku yang aku pegang dan jadikan alas untuk menulis resep. Suasana semakin sibuk, antrean menumpuk di tempat pemeriksaan dokter, pasien-pasien tersebut sudah diukur tekanan darahnya oleh Indira. Satu pasien bisa memakan waktu hampir 15 menit karena kendala bahasa. Biasanya satu pasien aku periksa hanya membutuhkan waktu sekitar 7 menit. Terdapat 35 pasien yang kami periksa dalam program pelayanan kesehatan gratis ini.

Lima puluh persen pasien di kampung ini mengeluhkan gatal-gatal. Hal ini mungkin terjadi karena kurang baiknya sanitasi di sini. Warga terbiasa tidak menggunakan alas kaki. Selain itu, air yang mereka gunakan adalah air sungai yang tidak dijamin kebersihannya. Warga kampung buang air kecil dan besar juga di sungai yang sama.

Aku sedikit tercengang karena wanita yang berusia empat tahun lebih muda dariku (sekitar 19-20 tahun) sedang mengandung. Ya, kebanyakan dari mereka menikah di usia cukup muda, di usia 16-19 tahun. Sayangnya, aku kurang persiapan dan tidak membawa obat zat besi, asam folat, dan vitamin lainnya yang baik untuk kesehatan kandungan. Untungnya, kami sudah menyiapkan minyak ikan sebagai vitamin tambahan untuk ibu hamil. Hari pertama bertugas menjadi hari yang cukup melelahkan bagiku, tapi rasa lelah itu hilang seketika saat melihat warga Anlung Chen tersenyum bahagia karena kedatangan kami.

Projek kesehatan lain yang GIVE Society berikan pada warga muslim Anglung Chen adalah pelatihan cuci tangan ala WHO (World Health Organization) yang dikoordinasi oleh Fathur, demisioner Presiden Mahasiswa BEM-KM UGM 2019. Selain itu, GIVE Society juga mengadakan potong kuku massal anak-anak yang dipandu oleh Inneke, mahasiswi IAIN Pontianak.

Desa Muslim Kheil

dr. Faisal dan Ustadz Maher sedang mendampingi warga yang akan dilakukan pemeriksaan kesehatan

Setelah seluruh program terjalankan, kami beranjak dari Anlung Chen menuju desa Kheil pukul 16:00. Menggunakan bus yang sudah disewa panitia, kami bercanda riang di dalam bus menikmati perjalanan yang cukup jauh. Hingga matahari tenggelam dan malam semakin gelap, bus kami belum sampai juga. Menyusuri hutan-hutan gelap hingga akhirnya tampak cahaya lampu dari rumah-rumah panggung yang menandakan kami telah sampai di pemukiman warga. Tepat pukul 23:30 kami sampai di salah satu kediaman warga muslim Desa Kheil. Perjalanan yang memakan waktu lebih dari tujuh jam membuat perut kami keroncongan. Dengan senang hati tuan rumah yang kami datangi segera menghidangkan makanan khas Kamboja: sup ikan dengan aroma daun chi disertai masakan-masakan lezat lainnya. Sekejap kami habiskan semua jamuan sang tuan rumah dan lekas beristirahat untuk mempersiapkan hari esok.

Dinginnya fajar membangunkanku dari tidur singkat di desa muslim yang memiliki 100 kepala keluarga. Segera aku bersiap untuk menjalankan program pemeriksaan kesehatan di tempat baru ini. Karena persediaan obat yang semakin menipis, sengaja kami tidak membuat pengumuman kepada seluruh penduduk desa, hanya kita buka saja posko kesehatan di musala dekat rumah kami tinggal. Pukul 08:00 waktu setempat kami memulai pelayanan. Berbekal dari pengalaman kemarin, kali ini aku sudah semakin terampil memberikan pelayanan bersama tim kesehatan. Dengan cekatan, Azrina mendata pasien dan Indira memeriksa tekanan darah, seperti hari sebelumnya. Kak Desy bersiap membagikan obat yang telah aku resepkan dan di sampingnya, Kak Niken, bersiap memberikan khimar bagi para mai mai (red: ibu-ibu).

Dua jam berlalu begitu cepat. Aku mulai menikmati ritme kerjaku. Kendala bahasa sudah mulai teratasi dengan menambah sedikit demi sedikit kosakata bahasa Cham. Beberapa pasien yang tidak mungkin aku kerjakan di kala itu adalah pasien dengan benjolan di siku dan beberapa bagian tubuh lainnya. Dalam istilah medis kita sebut dengan lipoma, yaitu gumpalan lemak yang tumbuh menjadi tumor jinak. Penanganannya harus menggunakan teknik bedah. Aku tidak menyiapkan alat untuk melakukan operasi minor di musala kala itu. Kasus sulit lainnya yang aku temukan adalah seorang wanita berusia 28 tahun, sudah menikah selama tujuh tahun, dan belum pula dikaruniai momongan. Setelah digali lebih dalam, terdapat riwayat menstruasi yang tidak normal, seringkali waktu tunggu untuk menstruasi berikutnya membutuhkan waktu sampai satu bulan lebih. Aku jelaskan edukasi kesehatan untuk wanita tersebut ke Pak Maher dalam bahasa Indonesia dan beliau yang menyampaikan untuk berobat ke dokter kandungan. Alhamdulillah, di Desa Kheil kami bisa memberikan pelayanan kesehatan kepada 55 warga.

Mengingat perjalanan yang cukup jauh untuk kembali ke Phnom Penh, lekas zuhur kami beranjak pulang ke hotel. Sesampainya di Phnom Penh kami langsung menuju restoran halal langganan sembari menikmati sate khas Kamboja yang begitu lezat. Kami menyantap hidangan malam itu dengan lezat sembari menikmati “debat Internasional” nan lucu antara Fathur dan Ruslan, anak kedua Pak Maher. Kami harus segera beristirahat dan bersiap untuk menjalankan misi kesehatan esok harinya.

Kampung Apung Chrampak

dr.Faisal dan GIVE Volunteer sedang melaksanakan pemeriksaan kesehatan di Chrang Pak

Desa terakhir yang kami kunjungi hampir mirip dengan kampung Anlung Chen, yaitu Kampung Chrampak. Ia berada di pusat kota Phnom Penh namun mereka tinggal di bantaran Sungai Basak. Cukup menempuh perjalanan 20 menit dari hotel untuk menjangkau lokasi. Kami tidak harus menyebrang sungai seperti saat di Anlung Chen, hanya masuk ke perkampungan imigran Vietnam dan langsung menjangkau pinggiran sungai dengan perahu-perahu yang berjejer di sana. Terdapat satu musala apung yang kami gunakan sebagai pusat kegiatan pelayanan.

Hal yang menarik saat melakukan pemeriksaan di atas musala apung ini adalah ketika perahu-perahu besar melintas, hempasan ombak kecil mengguncang badan musala apung ini. Seketika terjadi goncangan seakan-akan terjadi gempa bumi. Saat fokus sudah memuncak di kala memeriksa pasien, tiba-tiba ambyar seketika saat “gempa bumi” dadakan itu datang. Kepalaku langsung pening dan aku terdiam sejenak. Baru di lokasi ketiga ini aku benar-benar bisa menggunakan bahasa dasar Cham, yang tadi nya bertanya “Chue Aeke?”, sekarang aku ganti dengan “Wak ke?” yang artinya “apa yang dikeluhkan?”. Bahasa simptomatis (red: mengenai keluhan) lainya dalam bahasa Cham juga sudah mulai aku pahami. Aku semakin menikmati hari-hari akhir pengabdianku di Kamboja ini.

“Saya senang sekali teman-teman dari Indonesia mau berkunjung ke sini dan juga membantu kami. Saya sangat bersyukur di sini juga diadakan pemeriksaan kesehatan gratis,” ungkap Pak Abdul Ghoni selaku imam musala apung Nurul A’la. Alhamdulillah kami dapat melayani 27 pasien di kampung ini. Ada satu pasien anak yang belum bisa aku tangani, kasus bedah juga, satu minggu yang lalu ia jatuh dan di lututnya terdapat lukanya yang cukup kering, namun ada sebagian daging yang keluar. Seharusnya bisa dibersihkan dan diambil sebagian daging yang keluar tersebut agar proses penyembuhannya bisa lebih baik. Namun sekali lagi aku tidak menyiapkan set minor perlengkapan untuk kasus bedah. Sedangkan anak tersebut juga tidak mengeluhkan apapun dan sangat enjoy berlarian bermain bersama teman-teman yang lain.

Aku sangat bahagia menjadi bagian dari GIVE Society untuk berkontribusi kepada warga muslim di Kamboja. Satu projek terobosan terbaru dari GIVE Society ini menjadikan ekspedisi kali ini lebih berwarna. Senyuman indah warga muslim Kamboja tidak akan bertahan lama apabila mereka sakit. Hadirnya GIVE Society kali ini membuat mereka menjadi lebih baik. Aku kini bisa ikut tersenyum cerah ketika mereka berkata, “Khnom maen sokhpheap la cheamuoy anak” (aku sehat/baik-baik saja bersamamu).

Author

admingive

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *