Azzizah, Give Volunteer ISE 5 Kamboja-Vietnam
Awalnya, masih tidak percaya aku akan menginjakkan kaki di negara yang terkenal akan angkot wat, ya negara itu ialah Kamboja. Negara yang disebut sebagai neraka dunia karena ada saat dimana rakyat di sana dibantai habis-habisan oleh pemerintahnya sendiri. Rasa nya sangat bersyukur dapat tergabung dalam ekspedisi kali ini karena impianku satu per satu mulai tercapai, mulai di ceklis dari daftar yang sudah ku tulis. Saat aku menginjakan kaki disana, aku sangat terkejut, terkejut melihat budaya yang sangat berbeda di Indonesia, mulai dari budaya, adat, makanan dll. Di sana aku melihat sendiri babi guling ada di setiap pinggiran jalan. Kamboja pun memiliki persamaan dengan Indonesia, sama – sama padat, sama sama beriklim tropis juga, namun uniknya di Kamboja setiap kami memesan makanan selalu ada acar sebagai makanan pendampingnya. Ternyata melihat peristiwa pol pot menyiksa rakyatnya secara langsung ke museum nya mempunyai sensasi tersendiri. Aku seperti masuk ke dalam cerita, betapa sakit dan sedihnya melihat saudara sesama muslim disiksa begitu kejam dan disiksa dengan cara yang tidak biasa dan unik. Di museum itu aku juga bertemu dengan seseorang yang masih hidup pada saat peristiwa itu terjadi, aku melihat sendiri ada bekas luka di beberapa bagian tubuhnya, aku juga melihat beberapa foto yang dia tunjukan pada ku, foto dimana dia disiksa pada zaman itu
Keesokan harinya baru lah aku dan tim memulai ekspedisi. Pernah ku mengkhayal apakah aku dapat mengajar anak – anak di pedesaan atau daerah terpencil? Dan ya, aku bisa mewujudkan itu. Aku dan tim mengajarkan berbagai hal kepada anak – anak di beberapa daerah yaitu Anlung Cheng, Desa Keihl, dan Cramphak, mulai dari mencuci tangan, mengajar ngaji, menggunting kuku mereka satu per satu, dan menggosok gigi. Ketika sampai di Anlung Cheng aku merasa sedih melihat kehidupan mereka, kehidupan yang tidak ingin siapapun mengalaminya. Bayangkan ketika mereka tinggal di dalam perahu sampan, yang kita tahu kegunaan perahu sampan untuk pergi berlayar mencari ikan, tetapi mereka hidup di sana. Mereka juga mencuci, memasak, mandi, wudhu dll menggunakan air sungai di sana. Sehingga banyak masyarakat disana yang terkena penyakit kulit dan diare, dari tim kami juga menyediakan medis sehingga mereka dapat diberikan obat-obatan.
Berbeda dengan Desa Keihl, jarak yang di tempuh sekitar tujuh jam dari pusat kota, sehingga kami baru sampai sekitar pukul 12.00 dan melanjutkan agenda kami saat pagi hari. Berbeda dengan Anlung Cheng, anak – anak di sini, tim pendidikan ajarkan untuk bermain games dan menanam pohon cabai. Selepas agenda kami bermain sepeda dengan anak-anak di sana. Sangat bersyukur ditemukan orang-orang di sana, diajarkan bahwa bahagia untuk sangat sederhana, dan bahagia itu kita yang menciptakan. Usai kegiatan di Desa Keihl, kami menuju kembali ke Pnom Penh untuk mengunjungi desa Chramphak. Sama hal nya dengan Anlung Cheng, desa Chramphak juga tinggal di atas perahu sampan, tetapi bedanya di sana ada mushola terapung yang digunakan untuk tim kami sebagai titik kumpul untuk mengumpulkan warga di sekitar sana. Akses menuju desa Chramphak tidak jauh dari ibu kota sekitar 10-15 menit, tetapi akses ketika tim kami turun dari bis, kami diharuskan melewati debu yang sangat pekat dan sedikit turunan untuk sampai ke pemukiman. Khusus di sana tim pendidikan mengajarkan kepada anak-anak huruf hijaiyah dan menggambar apa saja yang ada di sana. Selain mengujungi ketiga tempat tadi, aku juga belajar banyak di kedutaan besar Indonesia baik Kamboja maupun Vietnam. Aku belajar banyak hal disana mulai dari keadaan muslim disana, remaja nya seperti apa dan banyak hal lainya.
Berbeda dengan Desa Keihl, jarak yang di tempuh sekitar tujuh jam dari pusat kota, sehingga kami baru sampai sekitar pukul 12.00 dan melanjutkan agenda kami saat pagi hari. Berbeda dengan Anlung Cheng, anak – anak di sini, tim pendidikan ajarkan untuk bermain games dan menanam pohon cabai. Selepas agenda kami bermain sepeda dengan anak-anak di sana. Sangat bersyukur ditemukan orang-orang di sana, diajarkan bahwa bahagia untuk sangat sederhana, dan bahagia itu kita yang menciptakan. Usai kegiatan di Desa Keihl, kami menuju kembali ke Pnom Penh untuk mengunjungi desa Chramphak. Sama hal nya dengan Anlung Cheng, desa Chramphak juga tinggal di atas perahu sampan, tetapi bedanya di sana ada mushola terapung yang digunakan untuk tim kami sebagai titik kumpul untuk mengumpulkan warga di sekitar sana. Akses menuju desa Chramphak tidak jauh dari ibu kota sekitar 10-15 menit, tetapi akses ketika tim kami turun dari bis, kami diharuskan melewati debu yang sangat pekat dan sedikit turunan untuk sampai ke pemukiman. Khusus di sana tim pendidikan mengajarkan kepada anak-anak huruf hijaiyah dan menggambar apa saja yang ada di sana. Selain mengujungi ketiga tempat tadi, aku juga belajar banyak di kedutaan besar Indonesia baik Kamboja maupun Vietnam. Aku belajar banyak hal disana mulai dari keadaan muslim disana, remaja nya seperti apa dan banyak hal lainya.
Pernah terlintas dalam pikiran, mengapa aku sering malas gerak, terkadang shalat masih ditunda, sering menginginkan sesuatu yang hanya keinginan sesaat, tanpa memikirkan apa yang sudah dipunya saat ini. Melihat mereka yang minum saja harus dengan air sungai membuat saya sadar, sadar bahwa banyak sekali orang di luar sana yang masih kesulitan air bersih, kesulitan untuk mencari tempat berteduh sedangkan aku, sudah tinggal di tempat yang nyaman masih saja malas, masih saja mengeluh, apakah aku pantas mendapatkan semua kenikmatan ini?. Terimakasih telah memberiku kesempatan untuk menyelami rasa syukur lebih dalam, atas segala pelajaran yang telah kalian ajarkan kepadaku, dan mengajarkan arti kehidupan yang sebenarnya.